Pemkab Sampang Optimis Angka Kekerasan Anak dan Perempuan Menurun

Kabid Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Dinsos PPPA Sampang,

SAMPANG – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sampang, Madura terus berupaya menekan angka kekerasan terhadap anak dan perempuan, bahkan optimis di tahun ini bakal menurun dibandingkan tahun sebelum-sebelumnya.

Berdasarkan catatan Dinas Sosial dan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (Dinsos PPPA) Sampang, dari Januari hingga September 2022 angka kekerasan di Sampang mencapai 29 kasus.

Adapun rinciannya, kekerasan terhadap anak sebanyak 21 kasus, sedangkan perempuan ada 8 kasus yang sama-sama tersebar di seluruh kecamatan se Kabupaten Sampang.

Namun, angka tersebut jauh lebih sedikit dibandingkan 2020 begitupun 2021 lalu, di mana pada 2020 tercatat ada 62 kasus kekerasan anak dan perempuan, sedangkan 2021 ada 52 kasus.

“Mudah-mudahan kekerasan anak dan perempuan tahun ini lebih sedikit, jika iya berarti sejak 2020 angka kekerasan di Sampang terus mengalami penurunan,” kata Kabid Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Dinsos PPPA Sampang, Selasa (27/9/2022).

Masruhah menjelaskan dari sejumlah kasus selama ini yang terjadi, terdapat beberapa jenis kekerasan yang dialami anak di wilayah kerjanya, seperti persetubuhan, pencabulan, penganiayaan, pencurian, narkoba, dan lainnya.

Sedangkan untuk kekerasan terhadap perempuan seperti persetubuhan, penganiayaan, KDRT, dan lainnya

“Terjadinya kekerasan anak dan perempuan merata di 14 kecamatan se Sampang, tapi untuk tahun ini insiden kekerasan banyak terjadi di Kecamatan Kedungdung, Tambelangan, dan Karang Penang,” terangnya.

Menurutnya, kekerasan itu lebih banyak terjadi di wilayah pelosok sehingga dalam upaya penanganannya dirinya giat mengedukasi masyarakat sebagai langkah pencegahan.

“Jadi kami sasar ke lembaga sekolah di pelosok untuk melakukan sosialisasi,” terangnya.

Tidak hanya itu, penanganan terhadap korban pasca menerima kekerasan juga dilakukan mellaui beberapa tahap, seperti, pengecekan kesehatan, kemudian baru masuk ke bimbingan konseling.

Adapun, terkait estimasi waktu penyembuhan tergantung dari tingkat keparahan yang dialami korban, yang jelas pemerintah daerah memberikan layanan terbaik guna yang bersangkutan tidak memiliki trauma tinggi.

“Upaya penyembuhan tidak mudah dilakukan seperti yang di bayangkan, terkadang keluarga korban enggan mengizikan, padahal ini demi kesehatan korban,” tuturnya.

“Jadi kalau tanpa izin keluarga kami tidak berani memberikan pelayanan penyembuhan karena kondisi petugas juga diperhitungkan,” tambahnya. (red)

Search